Select Page

Tentang proses menulis, saya langsung teringat masa kecil saat saya sedang belajar menulis. Saya, Kakak dan Adik saya sering menulis di halaman, yang waktu itu masih berupa tanah, menggunakan batu atau arang. Saya mengikuti Kakak, bagaimana cara menulis. Entah tulisan apa yang saya tulis. Saya juga masih ingat bagaimana Kakak mengajak saya menulis di atas daun pisang dengan menggunakan ranting kecil. Itu terjadi sebelum saya masuk SD.

Saatnya saya masuk Sekolah Dasar. Waktu itu saya belum bisa membaca dan menulis dengan benar. Setiap malam Bapak mengajarkan saya menulis, biasanya saya dipangku. Bapak memegang tangan saya untuk menulis huruf demi huruf, kemudian lama-lama dilepas. Lama-kelamaan saya bisa menulis dengan benar, Bapak sangat telaten untuk mengajarkan menulis.

Ketika memasuki usia SMP, Saya mulai tertarik untuk menulis teks lagu dengan tulisan warna-warni dan bentuk –bentuk hiasan. Teks lagu tersebut dikumpulkan, dan sering dipinjam untuk teman-teman di SMP. Waktu SLTA. Saya paling tertarik dengan majalah Anita emerlang, yang berisi cerpen-cerpen untuk usia remaja. Dari majalah itulah saya terinspirasi untuk menulis novel untuk dikirim ke redaksi majalah Anita Cemerlang.

Saya menulis tangan dan dibantu Kakak Saya untuk pengetikan, saat itu belum ada laptop. Lama-kelamaan saya bisa mengetik sendiri, dengan pengawasan Kakak. Jika ada yang salah satu hurufpun, maka saya harus mengetik ulang, tidak semudah sekarang, bisa langsung di delete.

Tulisan cerpen yang paling berkesan adalah saat menulis cerpen yang berjudul “Aster Putih”. Dibantu Kakak, tulisan tersebut dikirim ke redaksi Anita Cemerlang, namun belum berhasil ditayangkan. Tetapi ada rasa bangga yang luar biasa, karena guru dan teman-teman ikut membaca cerpen tersebut, bahkan saya sempat mendapat julukan baru ‘Si Aster’. Namanya juga remaja, gara-gara cerpen tersebut seorang Kakak kelas memberikan saya satu pot bunga Aster putih, yang akhirnya saya tanam di depan kamar kos-kosan.

Setelah dewasa, kemampuan menulis tidak terlatih lagi. Saat menulis narasi, terasa tangan pegal dan tidak bisa menulis dalam jangka waktu lama. Setelah kenal beberapa pakar di Sekolah Tetum Bunaya, saya baru tahu bahwa pola pegang pensil sangat berpengaruh. Untungnya saat ini sudah menggunakan laptop, jadi beban menulis dengan tangan berkurang. Yang dirasakan sekarang adalah kemampuan merangkum sebuah peristiwa menjadi tulisan, misalnya membuat notulen atau laporan. Saya merasa kemampuan di bidang tersebut masih perlu diasah dan belajar lebih banyak lagi.

Saat membuat tulisan ini, ingin rasanya menulis cerpen lagi, walaupun untuk dinikmati sendiri.

Ditulis Oleh : Fajar Rochmiyatun (Kak Wiwik)